Rabu, 06 Februari 2013


Hyperparenting-kah Anda?


Sebagai orangtua, kita pasti menginginkan yang terbaik bagi anak-anak kita. Semua aspek diperhatikan, mulai dari makanan, pakaian, pendidikan, diupayakan yang terbaik demi buah hati tercinta. Pengorbanan materi tidak lagi dipertimbangkan. Terlebih dalam hal pendidikan. Karena menginginkan anaknya menjadi anak yang cerdas dan sukses di masa depan, orangtua menjejali anak dengan berbagai macam les dan ekstrakurikuler. Seperti halnya usia  Andi, yang pada usia delapan tahun sudah dijejali dengan berbagai macam aktivitas yang menyamai orang dewasa, nyaris tanpa jeda. Mulai dari les matematika, les berenang, les piano, les membaca dan sederet aktivitas lainnya. Kedua orangtuanya pun mengatur jadwalnya dengan amat seksama, sampai detik per detiknya. Apa yang terjadi ? Andi kehilangan waktu bermainnya..

Bila kita cermati kembali....apakah perlakuan yang kita berikan tersebut sudah benar demi kebahagiaan anak dimasa mendatang ? Ataukah ini semata ambisi kita yang dulu tidak pernah/tidak sempat kita lakukan pada saat kita muda dulu? Ataukah ego orangtua yang ingin memiliki anak yang super hebat dan berprestasi ?
Bila kita kaji lebih dalam, tindakan orangtua Andi pada kisah diatas dapat kita katakan sebagai hyperparenting. Apa itu Hyperparenting

Hyperparenting adalah tindakan-tindakan yang dilakukan orangtua yang dinilai baik untuk anak mereka tanpa memperhatikan kebutuhan dan kemampuan anak mereka. Hal ini biasanya dilatarbelakangi oleh kekhawatiran orangtua akan masa depan anak mereka. Lalu, bagaimana ciri-ciri orangtua yang hyperparenting itu?
  • teliti dan cermat terhadap apa yang dilakukan oleh anak hingga sangat terlibat dalam berbagai aspek kehidupan. Contohnya, mereka tahu betul apa saja yang dimakan oleh anaknya, berapa sendok makan anak dsb
  • memberi stimulasi berlebihan pada anak atau balita, padahal ia tidak merespon. Anak merespon bukan karena mengabaikan atau bodoh, melainkan karena kemampuannya memang masih terbatas sesuai dengan usianya. Misalnya, anak belum mampu menggunakan toilet, tapi terus saja dilatih bahklan dipaksa atau dimarahi jika tidak berhasil atau meolak melakukannya.
  • Cemas berlebihan pada apa yang terjadi atau dialami anak/rasa khawatir berlebihan akan masa depan anak. Misalnya, saat anak menginap di rumah neneknya, maka Anda bisa berkali-kali menelpon hanya untuk menanyakan keadaan anak, apa yang dimakan, apa yang dimainkan dan tak lupa menitipkan sederet larangan untuk anak.
  • Membandingkan anak dengan anak lain secara ekstrim, meskipun tahu bahwa setiap anak memiliki kesiapan berbeda untuk belajar sesuatu.
  • tidak pernah merasa puas terhadap pencapaian anak tanpa melihat kemampuan anak. Kerap kecewa dan terpukul jika anak balita gagal merespon stimulasi yang diberikan atau melakukan kesalahan. Selain itu selalu merasa kurang dan tak bisa memberikan yang terbaik bagi anak.
  • terlalu memaksakan anak untuk melakukan semua kegiatan yang menurut orangtua nilai baik dan berdampak positif pada anak.Berperilaku tak masuk akal seperti meminta anak untuk tidak bermain seharian dan memaksanya mengerjakan suatu kegiatan yang dianggap positif seperti terus-menerus belajar membaca, menulis dan berhitung
  • selalu menilai keberhasilan anak hanya dari prestasi akademik atau kognitif, baik melalui rapor maupun hasil prestasi yang bisa diraih anaknya
  • memanjakan anak, berusaha memenuhi semua tuntutan dan permintaan anak
  • merasa kecewa bila mendapati anak gagal mencapai prestasi atau kemampuan tertentu yang diharapkan orangtua
  • Selalu menekan anak dan tersinggung bila ada yang mengkritik anaknya
  • menyalahkan pihak sekolah atau guru bila anaknya tak berhasil mencapai prestasi yang baik

Lalu, apa akibatnya pada anak kita?
Dalam jangka pendek, anak akan merasa:
  • anak lebih mudah marah
  • cepat lelah
  • sakit-sakitan
  • sulit berkosentrasi
  • sulit makan atau sebaliknya
  • tidak bisa tidur
  • kerap membangkang atau tidak menurut perintah orangtua
  • jika diberi perintah akan berlama-lama mengerjakannya
  • kerap terlihat kurang bersemangat dalam menjalani aktivitas sehari-hari
Dalam jangka panjang, hyperparenting akan mengakibatkan hal-hal berikut pada anak:
  • Anak cenderung kurang inisiatif, karena seluruh hal yang dilakukannya mayoritas atas arahan dan perintah orangtua.
  • Kurang mampu merefleksikan diri, karena tak ada waktu untuk berpikir mandiri. Semua hal dalam hidupnya sudah dipikirkan oleh orangtua dan anak juga kerap menerima kritik dari orangtua jika yang dilakukannya tidak sempurna atau sesuai keinginan orangtua.
  • Kurang memiliki pemahaman tentang diri sendiri, sehingga anak tidak mengenal kelebihan dan kekurangan dirinya.
  • Anak juga kurang memahami  apa keinginan dan kebutuhannya, bahkan hal apa saja yang disukai dan tidak disukainya.
  • Sedikit bicara dan kurang ekspresif, karena terbiasa mendengar bukan didengar.
  • Bukan tidak mungkin anak akan mengalami depresi yang terkadang tak disadari oleh orangtua atau orang-orang di sekelilingnya

Bahkan orangtua yang hyperparenting pun akan mengalami:
  • Sering cemas
  • Kehilangan waktu untuk dirinya sendiri
  • Kurang menikmati proses pengasuhan
  • Banyak bertengkar dengan sesama pengasuh -misalnya bunda bertengkar dengan ayah karena dianggap kurang mendukung atau dianggap berbeda pandangan
  • Lebih mudah stress

Lantas, apa yang harus kita lakukan, agar kita terhindar dari hyperparenting?
1.    Menyempatkan waktu bersama anak-anak. Tak ada kesempatan lebih efektif selain bersamanya. Ketahuilah masa kanak-kanak berlalu begitu cepat, tanpa kita sadari tiba-tiba mereka akan sibuk dengan teman sebayanya, pekerjaan dan akhirnya “meninggalkan” kita.
2.    Belajar menjadi pendengar apa yang diinginkan anak. Kita sering menuntut mereka agar mendengarkan perintah dan nasehat kita tapi tidak adil jika kita tidak mau mendengar suara hati mereka. Dengan mendengar orang tua akan peka isyarat anak sekaligus memahami ritme alami anak. Orang tua akan mengetahui mana kegiatan pengayaan yang dibutuhkan anak dan mana yang tidak. Dan tanyakan terlebih dahulu apakah anak menyukai kegiatan tertentu atau tidak.
3.    Sadari dimensi anak. Hindari menilai anak dari semua aspek kehidupannya. Masa kanak-kanak adalah masa persiapan, bukan tempatnya menetapkan standar kita kepada anak. Anak juga berhak gembira, bersenang-senang, beristirahat dan mempunyai waktu luang yang mereka isi sesuai pilihnnya sendiri
4.    Biarkan sesekali anak tidak produktif. Orang tua kerap gerah melihat anak bersantai tanpa kegiatan produktif. Waktu tak produktif diperlukan anak untuk merangsang menciptakan sendiri kesenangannya.
5.    Tidak membandingkan dengan anak lain atau membandingkan masa kanak kita dengan masa kanak anak sekarang. Allah Sang pencipta telah memberi setiap anak keistimewaan dan keunikan masing – masing, maka hargailah keistimewaannya dengan tidak membandingkan dengan anak l lain. Yang terpenting kita motivasi mereka untuk siap hidup jamannya dengan ridhoNya

Jika kita tidak ingin hal ini terjadi pada anak, orangtua harus menjadi bijaksana dengan lebih memperhatikan kebutuhan dan kemampuan anak daripada memberi beban kepada mereka dengan kegiatan-kegiatan yang dianggap baik untuk anak lakukan.

Your children are not your children. They are sons and daughters of Life’s longing for itself. They came through you but not from you and though they are with you yet they not belong not to you (Kahlil Gibran)

Sumber:
www. ayahbunda.com
www.jawaban.com
www.sd2ypkbontang.sch.id

Perkembangan TIK bagi Anak di India



Dalam  jurnal E-Learning Technologies for Rural Child Development yang dikemukakan oleh S.K Nayak dan Dr. Kalyankar. N.V ini diceritakan bahwa konsep e-learning dapat diimplementasikan pada pendidikan anak khususnya yang berada di pedesaan. Satu hal yang dapat kita ingat dari  artikel ini adalah bahwa langkah-langkah yang dikemukakan oleh kedua penulis tersebut telah dan akan diimplementasikan di wilayah pedesaan di India. Sebagai negara yang berkembang, Indonesia memiliki kondisi yang tidak jauh berbeda dengan India, dimana keduanya merupakan negara dengan luas wilayah yang besar, jumlah penduduk yang banyak dan lain sebagainya, dimana menurut pendapat saya kendala dan hambatan dalam mengimplementasikan e-learning pada pendidikan anak tidak jauh berbeda dengan kondisi yang dihadapi di Indonesia.

Pada artikel tersebut disebutkan bahwa TIK berperan penting dalam pendidikan anak sejak usia dini diantaranya:
a.    Sebagai sarana bermain
b.    Membantu dalam perkembangan bahasa anak
c.    Membantu dalam logika matematika dan pemecahan masalah
d.    Membantu anak yang berkebutuhan khusus, anak-anak yang ingin mempelajari kebudayaan lain dsb

Saya juga sependapat dengan penulis artikel bahwa  e-learning mempunyai dampak positif dalam pendidikan diantaranya:
ü  Dengan e-learning, pembelajaran menjadi terpusat pada siswa  (Student Center Learning) , siswa dituntut untuk belajar secara mandiri,Mereka mempelajari apa yang ingin mereka ingin ketahui sesuai dengan jadwal yang mereka tentukan sendiri
ü  Dengan perangkat e-learning yang terhubung dengan internet, kemudahan untuk mengakses informasi dan berbagai sumber belajar lainnya.
ü  Collaborative learning dimana siswa dari suatu Negara dapat berbagi informasi dan pembelajaran serta belajar bersama melalui e-learning baik secara individu maupun berkelompok
ü  E-learning memberikan kemudahan untuk memodifikasi dan menyesuaikan pembelajaran sesuai dengan keinginan siswa itu sendiri
ü  Fleksibilitas dalam belajar dimana siswa dapat belajar dimana pun dan kapan pun, tidak lagi dibatasi oleh tempat dan waktu. Dan pembelajaran itu berlangsun secara real time pada tempat yang berbeda dengan orang yang berada jauh dari siswa tersebut
ü  E-learning memangkas biaya distribusi dan percetakan buku
ü  Kemudahan dalam mengorganisasikan pembelajaran serta administrasi kesiswaan lainnya, mulai dari tahap registrasi, pelatihan semuanya dapat dilakukan dengan lebih mudah

Dalam pelaksanaannya tetap saja terdapat kendala-kendala dalam pengimplementasiannya di negera berkembang, yang dalam hal ini adalah India. Diantara kendala-kendala tersebut adalah:
Ø  Literature
Seperti halnya di Negara berkembang lainnya, jumlah literature yang diperlukan sangatlah besar, namun ketersediaan literature itu sendiri masih terbatas, khususnya literature tentang pertanian yang berbasis ekonomi,
Ø  Sumber daya manusia
Tenaga ahli untuk mengelola dan mengembangkan e-learning di pedesaan masih sangat sedikit. Hal ini dipengaruhi karena tenaga kerja cenderung untuk bekerja di kota besar dan juga disebabkan karena rendahnya upah kerja di pedesaan
Ø  Pengadaan teknologi
Terbatasnya sumber dana untuk e-learning ini menyebabkan pengadaan komputer dan perangkat lainnya juga tidak mencapai jumlah yang semestinya. Seringkali hal ini juga ditambah dengan sulitnya transportasi/akses jalan menuju daerah tersebut menyebabkan kendala dalam pendistribusian perangkat komputer dan alat pendukung lainnya
Ø  Sumber daya listrik
Sekarang ini, tanpa adanya listrik rasanya mustahil bisa menjalankan semua perangkat e-learning tersebut. Dimana di India, listrik masih menjadi komoditas yang tidak semua wilayah menikmatinya.
Ø  Masalah pendanaan
Sulit rasanya, bila hanya mengandalkan pendanaan yang berasal dari daerah itu sendiri. Perlu kerjasama dari pemerintah pusat dan lembaga-lembaga independen internasional yang bergerak di bidang sosial dan kemanusiaan

Untuk itu penulis artikel, S.K Nayak dan Dr. Kalyankar. N.V menyarankan bahwa perlu dilakukan langkah-langkah berikut untuk mengatasi kendala-kendala yang selama ini dihadapi dalam mengimplementasikan e-learning di daerah pedesaan di India:
v  Pelatihan secara intensif kepada guru-guru di sekolah
Diharapkan pelatihan ini akan menciptakan lingkungan pembelajaran yang diinginkan serta memacu guru untuk mengembangkan pengalamannya dalam mengembangkan e-learning
v  Pengadaan seminar dan workshop kepada siswa dan orangtua tentang konsep e-laerning dan cara penggunaannya, sehingga mereka paham bagaimana hal ini sangat penting dalam proses pembelajaran itu nantinya.
v  Penambahan bandwidth.
Seperti kita ketahuia bahwa terbatasnya bandwidth menyebabkan lambatnya akses internet baik dalam hal download/upload data, akses video dan gambar yang dapat menganggu proses pembelajaran itu sendiri. Dengan ditambahnya bandwidth diharapkan semua proses dalam e-learning dalam berlangsung lancer tanpa ada keterlambatan.
v  E-learning ini dengan sendirinya akan mengurangi ketergantungan siswa guru, untuk guru, dituntut untuk lebih kreatif dalam mengembangkan mata ajar yang diampunya sehingga pembelajaran itu dapat disampaikan secara menarik dan tidak membosankan.
v  Di India itu sendiri, e-learning akan makin memperbesar kesenjangan antara yang mampu dengan yang kurang mampu. Dimana daerah pedesaan yang mempunyai financial kuat, akan dengan mudah mengimplementasikan ­e-learning ini, sedangkan desa dengan sumber dana yang kurang tetap menjadi desa yang terkebelakang.

Untuk itu perlu kerjasama dari berbagai pihak kebijakan ini tidak hanya sebatas kebijakan, tetapi menjadi langkah nyata untuk meningkatkan kualitas manusianya. Diantara kebijakan pemerintah India adalah wajib belajar bagi anak yang berusia 6-14 tahun. Selain itu, pemerintah India juga meluncurkan program bernama Sarva Shiksha Abhiyan semacam pendidikan untuk semua kalangan masyarakat.

Selain itu pemerintah juga mendorong kalangan swasta dan lembaga independen internasional untuk turut berpartisipasi dalam mengembangkan pendidikan di India. Dimana bukan hanya pendidikan yang selama ini dilakukan, tetapi juga pendidikan yang berbasis TIK.

Dalam hal pendanaan, pemerintah juga melakukan kontrol dan pengawasan agar dana yang dianggarkan untuk pembangunan infrastruktur dan sarana pembelajaran yang berbasis TIK ini dapat dikelola dengan semestinya. Sedangkan untuk kendala sumber daya listrik, pemerintah India berupaya untuk mengembangkan sumber daya selain listrik, misalnya tenaga matahari dan juga bagi daerah yang belum mempunyai jaringan listrik, dapat disiasati dengan menggunakan tenaga generator. Tentunya hanya bersifat sementara.

Tidak jauh berbeda sebenarnya, keadaan di India dengan Indonesia, dimana karena bentuk geografis yang berkepulauan dan wilayah yang sangat besar, Indonesia juga mengalami hal yang sama. Dari artikel yang ditulis oleh S.K Nayak dan Dr. Kalyankar. N.V ini diharapkan pemerintah Indonesia juga dapat mengimpplementasikan langkah-langkah yang ditempuh oleh India untuk pembelajaran berbasis TIK ini dengan memaksimalkan sumber daya yang ada. 

Sumber:

Sabtu, 26 Januari 2013

TUMBUH KEMBANG SOSIAL EMOSIONAL ANAK USIA 2 TAHUN (Part 3)


Hmmmmm.....setelah kita mengetahui karakteristik perkembangan sosial dan perkembangan emosional anak usia 2 tahun, belum lengkap kalau kita tidak membahas juga tentang bagaimana menstimulasi anak kita agar perkembangan sosial dan emosionalnya menjadi optimal. Selain itu perlu juga kita cermati bahwa dalam perkembangannya perlu juga kita cermati gangguan dalam sosial emosional yang dialami oleh si 2 tahun. Yuk kita telaah lebih lanjut.........


D.    STIMULASI UNTUK PERKEMBANGAN SOSIAL EMOSIONAL ANAK USIA 2-3 TAHUN
Memiliki anak yang mempunyai kecerdasan sosial emosional yang baik, tentulah tidak mudah dan tidak dapat dilakukan dalam waktu singkat. Agar anak mampu mengelola sosial emosionalnya dengan baik, perlu dukungan dari orangtua, yang antara lain adalah sebagai berikut:
-        Tumbuhkan rasa ingin tahu anak, kreativitas dan imajinasi
Rasa ingin tahu merupakan bawaan dari anak, sehingga, secara alami anak kecil akan tertarik menyentuh sesuatu, merasakan hal-hal dan bahkan membongkar barang-barang yang ia temui. Orang tua harus dengan sabar memenuhi rasa ingin tahu anak. Tunjukkan bagaimana menggunakan barang-barang yang mereka minati.
-        Melatih kemampuan pengendalian diri
Tips agar Kecerdasan Emosional (EQ) Anak Berkembang adalah dengan melatih anak kemampuan pengendalian diri. Misalnya, ketika anak tiak menangis ketika ditinggal oleh ibunya, , orang tua dapat berkata: “Jika kamu tidak menangis waktu ibu pergi, maka kita akan menghasikan waktu bersama selama seharian besok.
-        Berilah kesempatan anak untuk melatih cara pikir mereka
Seorang anak laki-laki tidak bisa menaiki anak tangga karena dia terlalu kecil. Dia meminta ibunya untuk mengangkatnya. Ibunya berkata:  “Kamu bisa melakukannya, coba gunakan akal dan pikirkan sejenak bagaimana melakukannya.” Kemudian, anak itu punya. ide: “ Jika saya pindahkan boks mainan saya di sini, saya dapat menggunakannya untuk pijakan”. Anak itu berpikir dan berusaha memecahkan masalah berkat nasihat ibunya. Hal ini memotivasi anak untuk menciptakan solusi. Dalam kehidupan sehari-hari, ada banyak pendekatan masalah yang bisa dilakukan selama kita mencurahkan waktu sejenak untuk memikirkannya.
-        Berilah Lebih banyak dorongan dan dukungan
Tumbuh berkembang tidak akan pernah mulus sepanjang jalan. Akan ada tawa, air mata, frustrasi, serta kegagalan. Ketika beberapa aspirasi tidak tercapai, anak-anak membutuhkan lebih banyak dorongan dan bantuan dari Anda. Jangan ikut menurunkan semangat mereka. Jaga agar mereka senantiasa merasa terdukung. Mimpi adalah bahan bakar yang memotivasi kesuksesan.
-        Tumbuhkan rasa percaya diri
Rasa percaya diri dan sikap positif akan membimbing mereka menuju jalan keberhasilan. Orang-orang sukses pertama-tama percaya bahwa mereka dapat berhasil.
-        Latihlah Menghadapi dunia luar
Karena terlalu khawatir, banyak orangtua melarang anaknya pergi ke luar sendirian. Karena hal ini, anak-anak jadi kehilangan kemampuan untuk berkomunikasi dan bertemu orang baru. Ketika anak kecil melihat seseorang yang tidak ia kenal, ia mungkin akan menangis atau memilih menyendiri. Setelah  tumbuh dewasa, mereka menjadi sensitif dan kurang berani untuk berbicara atau berkomunikasi dengan orang lain. Kurang percaya diri menyebabkan mereka tidak punya banyak teman. Ketika dewasa, mereka akan sulit mencapai potensi penuh yang dimiliki serta  menghadapi kesulitan berurusan dengan masyarakat. Oleh karena itu, orang tua harus membantu anak-anak mereka untuk memahami dunia luar. Orang tua juga harus memberikan kesempatan berinteraksi  lebih banyak untuk anak-anak yang penakut. Seorang anak yang mampu menghadapi masyarakat tanpa rasa takut juga akan lebih percaya diri saat berhadapan dengan guru dan rekan-rekannya di sekolah.
-        Tanamkan rasa hormat pada orang lain
Dengan mengajarkan mereka untuk menghormati orang lain dan bekerja sama dengan orang-orang yang memiliki pendapat berbeda, mereka dapat memiliki hubungan interpersonal yang lebih harmonis.
Ketika pemecahan masalah telah dipilih bersama, orang tua juga perlu mendorong anak-anaknya mencoba pemecahan masalah tersebut.. Orang tua hanya menghadapi anak-anaknya sendiri yang semenjak lahir telah mereka ketahui bagaimana pertumbuhan fisik dan perkembangan emosinya. Orang tua relatif mengetahui bagaimana pola-pola penyimpangan emosi yang terjadi pada anak-anak mereka.

E.    GANGGUAN PADA PERKEMBANGAN SOSIAL EMOSIONAL ANAK USIA 2-3 TAHUN
1.     AUTISME
Autisme adalah istilah yang digunakan untuk sekumpulan gangguan perkembangan secara neurologik dimana individu yang mengalaminya akan mengalami gangguan pada kemampuan interaksi sosialnya dan keterampilan komunikasinya, serta kecenderungan untuk mengulangi suatu perilaku tertentu. Terdapat berbagai macam bentuk autisme, dari seseorang yang dapat berperilaku baik pada berbagai keadaan, sampai seseorang yang mengalami gangguan bicara dan keterampilan harian sederhana.
Autisme biasanya didiagnosa pada usia balita atau usia prasekolah, walaupun ada juga yang didiagnosa pada usia yang lebih tua. Menurut laporan, sekitar 20% anak yang mengalami autisme mengalami sesuatu yang disebut sebagai regresi, yaitu mereka tampaknya mengalami suatu perkembangan normal tetapi kemudian kehilangan keterampilan komunikasi dan sosial. Anak laki-laki mempunyai resiko tiga sampai empat kali lipat untuk mengalami autisme dari pada anak perempuan. Autisme dapat terjadi pada semua kelompok ras, etnik, dan sosial manapun. Berbagai macam faktor yang diduga berhubungan dengan autisme antara lain faktor infeksi, metabolisme, genetik, neurologik, dan lingkungan.
Menurut bukti-bukti ilmiah yang ada saat ini tidak ada satupun hipotesis yang mendukung pernyataan bahwa vaksin MMR, atau kombinasinya, dapat menyebabkan terjadinya autisme maupun bentuk autisme regresif. Pertanyaan-pertanyaan akan adanya kemungkinan kaitan antara vaksin MMR dan autisme telah diteliti secara luas oleh National Academy of Sciences, Institute of Medicine, Amerika. Penelitian ini menyimpulkan berdasarkan bukti-bukti epidemiologi yang ada saat ini bahwa tidak ada hubungan sebab akibat antara vaksin MMR dan autisme.

2.     TANTRUM
Temper Tantrum (mengeluarkan amarah yang hebat untuk mencapai maksudnya), suatu letupan amarah anak yang sering terjadi pada usia 2 sampai 4 tahun di saat anak menunjukkan kemandirian dan sikap negativistiknya. Perilaku ini seringkali disertai dengan tingkah yang akan membuat Anda semakin jengkel, seperti menangis dengan keras, berguling-guling di lantai, menjerit, melempar barang, memukul-mukul, menyepak-nyepak, dan sebagainya. Bahkan pada anak yang lebih kecil, diiringi pula dengan muntah atau kencing di celana.
Mengapa Temper Tantrum ini bisa terjadi ? Hal ini disebabkan karena anak belum mampu mengontrol emosinya dan mengungkapkan amarahnya secara tepat. Tentu saja hal ini akan bertambah parah jika orang tua tidak mengerti apa yang sedang terjadi pada anaknya, dan tidak bisa mengendalikan emosinya karena malu, jengkel, dan sebagainya.
Beberapa penyebab konkrit yang membuat anak mengalami Temper Tantrum adalah :
·         Anak terlalu lelah, sehingga mudah kesal dan tidak bisa mengendalikan emosinya.
·         Anak gagal melakukan sesuatu, sehingga anak menjadi emosi dan tidak mampu mengendalikannya. Hal ini akan semakin parah jika anak merasakan bahwa orang tuanya selalu membandingkannya dengan orang lain, atau orang tua memiliki tuntutan yang tinggi pada anaknya.
·          Jika anak menginginkan sesuatu, selalu ditolak dan dimarahi. Sementara orang tua selalu memaksa anak untuk melakukan sesuatu di saat dia sedang asyik bermain, misalnya untuk makan. Mungkin orang tua tidak mengira bahwa hal ini akan menjadi masalah pada si anak di kemudian hari. Si anak akan merasa bahwa ia tidak akan mampu dan tidak berani melawan kehendak orang tuanya, sementara dia sendiri harus selalu menuruti perintah orang tuanya. Ini konflik yang akan merusak emosi si anak. Akibatnya emosi anak meledak.
·          Pada anak yang mengalami hambatan dalam perkembangan mentalnya, sering terjadi Temper Tantrum, di mana dia putus asa untuk mengungkapkan maksudnya pada sekitarnya.
·          Yang paling sering terjadi adalah karena anak mencontoh tindakan penyaluran amarah yang salah pada ayah atau ibunya. Jika Anda peduli dengan perkembangan anak Anda, periksalah kembali sikap dan sifat-sifat kita sebagai orangtua.
   
3.           GANGGUAN PERILAKU MERUSAK
Perilaku yang memperlihatkan agresivitas, ketidak-patuhan, dan antisosial. Anak suka membantah, kasar perangai, dan suka menyakiti orang lain. Pada tahap yang lebih parah, anak suka berbohong, berkelahi, mengganggu anak yang lebih kecil (bullying), mencuri, menghancurkan benda di sekitarnya.
4.           GANGGUAN KECEMASAN ATAU GANGGUAN MOOD
Merasa selalu sedih, tertekan, tidak dicintai, gugup, takut, kesepian. Gangguan kecemasan dapat bermacam-macam bentuknya. Misalnya,  dinakali oleh anak yang lebih besar, merasa terpisah dari rumah atau orang tua. Contoh gangguan kecemasan lain pada anak adalah gangguan mood (terutama kesedihan) yang berlangsung melebihi periode normal. Anak tidak mampu lagi bergembira atau berkonsentrasi, selalu kecapaian, melakukan aktivitas ekstrim, apatis, selalu menangis, mengalami masalah tidur, berat badan berubah drastis, mengalami keluhan fisik yang tidak jelas, merasa diri tidak berharga, merasa tidak berteman, bahkan kadang-kadang berpikir ingin mati 


Sumber: 
  1.      Santrock, John A. Life-Spain Development. Edisi kelima.Jakarta: Erlangga. 2002
2.     Jahja, Yudrik. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup.2011
3.     Hurlock, Elizabeth A. Developmental Psikology, A Life-Span Approach,Fifth Edition. Jakarta. Erlangga. 1980.
4.     Hurlock. A. Elizabeth. Perkembangan Anak. Edisi keenam. Jakarta. Erlangga.1978
5.     Yusuf,. Syamsu. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, Jakarta. 2007
6.     http://keluargasehat.wordpress.com
7.   Diane E. Papalia, Human Development, 10th edition, Mc. Graw Hill, 2007


TUMBUH KEMBANG SOSIAL EMOSIONAL ANAK USIA 2 TAHUN (Part 2)

Ini bagian kedua dari tulisan yang sebelumnya. Kali ini hal yang dibahas adalah bagaimana perkembangan sosial emosional anak usia 2 tahun itu sendiri, bagaimana karakteristik masing-masing perkembangan? Langsung saja kita ke TKP..... (kebanyakan nonton OVJ....hihihihihihi)

C.    PERKEMBANGAN SOSIAL EMOSIONAL ANAK USIA 2-3 TAHUN
Perkembangan sosial dapat diartikan sebagai sequence dari perubahan berkesinambungan dalam perilaku individu untuk menjadi makhluk sosial.  Proses perkembangannya berlangsung secara bertahap sebagai berikut:
1.     Masa kanak-kanak awal (0-3 tahun) subjektif
2.     Masa krisis (3-4 tahun) tort alter
3.     Masa kanak-kanak akhir (4-6 tahun) subjektif menuju objektif
4.     Masa anak sekolah (6-12 tahun) objektif
5.     Masa kritis II (12-13 tahun) pre-puber (anak tanggung)
Pada proses integrasi  dan interaksi ini faktor intelektual dan emosional mengambil peranan penting. Proses ini merupakan proses sosialisasi, yang mendudukkan anak-anak sebagai insan yang secara aktif melakukan proses sosialisasi.  Perkenalan dan pergaulan dengan manusia lain segera menjadi luas: ia mengenalkan ke dua orang tuanya, anggota keluarganya, teman bermain sebaya, dan teman-teman sekolahnya. Pada umur selanjutnya, mereka mulai belajar mengembangkan interaksi sosial dengan belajar menerima pandangan kelompok.
Menurut Elizabeth H. Hurlock dalam buku Perkembangan Anak (1978: 214)  perkembangan emosi dikendalikan oleh proses pematangan dan proses belajar. Lima bentuk belajar yang paling penting adalah coba-ralat (Trial error) , dengan menirukan (imitation), dengan persamaan (identification), dengan pengkondisian (conditioning), dan dengan pelatihan (training). Perkembangan emosi sendiri dalam ilmu kependidikan merupakan suatu perubahan kualitas pada perasaan hati seorang individu.  Sekalipun  pola perkembangan serupa pada semua anak, namun ada variasi dalam pola ini. Akibatnya, rangsangan yang berbeda, mampu membangkitkan emosi yang sama dan masing-masing anak akan bereaksi secara berlainan terhadap setiap emosi. Untuk lebih jelas, berikut akan dibahas tentang masing-masing perkembangan emosi dan sosial yang dialami oleh anak usia 2-3 tahun.

1.     PERKEMBANGAN  SOSIAL
Perilaku sosial merupakan aktivitas dalam berhubungan dengan orang lain, baik dengan teman sebaya, orang tua maupun saudara-saudaranya. Sejak kecil anak telah belajar cara berperilaku sosial sesuai dengan harapan orang-orang yang paling dekat dengannya, yaitu dengan ibu, ayah, saudara, dan anggota keluarga yang lain. Apa yang telah dipelajari anak dari lingkungan keluarga turut mempengaruhi pembentukan perilaku sosialnya.
Antara usia 2-3 tahun, anak menunjukkan minat nyata untuk melihat anak-anak lain dan berusaha mengadakan kontak sosial dengan mereka. Ini dikenal dengan “bermain  sejajar” , yaitu bermain sendiri-sendiri, tidak bermain dengan anak-anak yang lain. Kalaupun terjadi kontak maka kontak ini cenderung bersifat perkelahian, bukan kerjasama. Bermain sejajar merupakan bentuk kegiatan sosial yang pertama-tama dilakukan dengan teman sebaya.
Perkembangan berikutnya adalah bermain asosiatif, di mana anak terlibat dalam kegiatan yang menyerupai kegiatan anak-anak lain. Dengan miningkatnya kontak sosial, anak terlibat dalam bermain kooperatif, dimana ia menjadi anggota kelompok dan saling berinteraksi. Sekalipun anak sudah mulai bermain dengan anak lain, ia masih sering berperan sebagai penonton, mengamati anak lain bermain, tetapi tidak berusaha untuk  benar-benar bermain dengan temannya. Dari pengalaman mengamati ini, anak usia 2-3 tahun belajar bagaimana anak lain mengadakan kontak sosial dan bagaimana perilakunya dalam berbagai situasi sosial.  (Hurlock. 1980:117)
Ada empat faktor yang berpengaruh pada kemampuan anak bersosialisasi, yaitu :
·         Adanya kesempatan untuk bergaul dengan orang-orang di sekitarnya dari berbagai usia dan latar belakang.
·         Adanya minat dan motivasi untuk bergaul
·         Adanya bimbingan dan pengajaran dari biasanya menjadi “model” bagi anak.. 
·         Adanya kemampuan berkomunikasi yang baik yang dimiliki anak

Menurut Erick H Erickson   dalam  buku karangan Yudrik Jahja, Psikologi Perkembangan  (2011: 92-94) perkembangan psikososial terbagi dalam beberapa tahap. Dimana untuk anak usia 2-3 tahun  termasuk dalam tahap kedua yakni Otonomi (outonomy)  vs rasa Malu dan Ragu  (shame and doubt). Tahap ini muncul pada akhir masa bayi dan usia toddler.
Di masa ini, anak berkesempatan untuk belajar tentang harga diri dan otonomi, seiring dengan berkembangnya kemampuan mengendalikan bagian tubuh dan tumbuhnya pemahaman tentang benar dan salah. Salah satu keterampilan yang muncul di periode adalah kemampuan berkata TIDAK. Sekalipun tidak menyenangkan orang tua, hal ini berguna untuk pengembangan semangat dan kemauan.Setelah mendapatkan kepercayaan dalam diri pengasuh mereka, bayi mulai mengetahui bahwa perilaku mereka adalah wajar. Mereka menyatakan kebebasan mereka dan menghindari kehendak mereka. Apabila bayi dikendalikan atau dihukum terlalu keras, mereka akan mengembangkan perasaan malu dan ragu.
Hubungan dengan orang lain bersifat egosentris atau mementingkan diri  sendiri sesuai dengan yang dijelaskan oleh Sigmud Freud. Peran lingkungan disini ialah memberikan support/dorongan dan memberi keyakinan yang jelas.  

Karakteristik perkembangan sosial anak usia 2-3 tahun
·         Mulai senang bergaul dengan teman
Anak ingin disukai oleh teman-temannya. Ia ingin bisa bermain dengan sebanyak mungkin teman. Anak mulai memahami bahwa fungsi pertemanan termasuk didalamnya aturan untuk berbagi, memberi dukungan, bergantian, dan berbagai keterampilan sosial lainnya
·         Meniru kegiatan orang lain
anak berada dalam tahap identifikasi, menirukan gerakan./mimik yang dilakukan oleh orang lain
·         Menunjukkan rasa sayang kepada saudara-saudaranya
ini ditunjukkka dengan cara mengucapkannya, memeluk dan mencium adik atau kakaknya.
·         Senang menirukan lagu dan dongeng-dongeng
anak senang berdendang lagu yang ia senangi dan senang mengulang-ulang cerita yang diperdengarkan.
·         Mulai mandiri dalam mengerjakan tugas
Anak meningkatkan usaha agar dapat melaksanakan tugas-tugas yang berkaitan dengan kegiatannya sehari-hari. Seperti mulai mampu untuk buang air kecil sendiri baik.
·         Mulai mengerti bagaimana perilaku berhubungan konsekuensi
Sebagai contoh, ketika anak tidak diajak bermain oleh teman sebayanya lalu anak tersebut merespon dengan cara menangis dan marah. Pada saat bersamaan anak belajar menemukan perilaku yang mana yang diterima oleh teman sebayanya dan perilaku  mana yang tidak diterima oleh teman sebayanya serta anak belajar menemukan dan menunjukkan berbagai bentuk emosi dirinya dan temannya.
·         Berbagi benda-benda dengan anak lain ketika di minta
Menurut Dr. Caron Goode pendiri Academy for Coaching Parents Internasional dan pemilik situs www.InspiredParenting.com dari sisi perkembangan anak usia 2-3 tahun memang belum mampu membedakan konsep “berbagi suatu benda”, sehingga permintaan berbagi sering mereka terjemahkan sebagai “penyerangan” terhadap dirinya. Mereka bisa berbuat apapun untuk mempertahankan miliknya, seperti menyembunyikan mainan, berteriak, bahkan menyerang, dan itu normal.
Namun demikian, dr Paul Donahue, psikolog klinis dan penulis buku Parenting Wihtout Fear” punya keyakinan bahwa perilaku dermawan dan hati besar untuk berbagi bisa dibentuk sejak dini. Caranya adalah dengan meniru dan belajar dari orang-orang disekelilingnya terutama orangtuanya. Bila kita ingin memiliki dan membesarkan anak yang dermawan, kita perlu membangun budaya dan kebiasaan “memberi” bukan “menerima”.
·         Membuat salah satu pilihan yang di tawarkan
Pada anak yang berusia 2-3 tahun, mereka sudah mampu memilih salah satu pilihan yang kita tawarkan kepada mereka. Misalnya, mereka lebih memilih sarapan dengan nasi goring diantara pilihan sarana bubur ayam dan nasi goreng. Pilihan ini tentu harus kita dukung dengan melaksanakan pilihan yang sudah dietapkan oleh si anak. Dengan begitu, sebagai orangtua, kita sudah mendengarkan dan menghargai pendapat mereka.
·         Berpartisipasi dalam kegiatan tertentu pada sebagian besar waktunya

2.     PERKEMBANGAN EMOSIONAL
Emosi merupakan suatu keadaan atau perasaan yang bergejolak pada diri seseorang yang disadari dan diungkapkan melalui wajah atau tindakan, yang berfungsi sebagai inner adjustment (penyesuaian dari dalam) terhadap lingkungan untuk mencapai kesejahteraan dan keselamatan.
Menurut English and English, emosi adalah “A complex feeling state accompanied by chartacteristic motor and glandular activities” (Suatu keadaan perasaan yang kompleks yang disertai karakteristik kegiatan kelenjar dan motoris). Salito Wiryawan Sarwono berpendapat bahwa emosi merupakan “Setiap keadaan pada diri seseorang yang disertai warna efektif baik pada tingkat lemah (dangkal) maupun pada tingkat yang lebih luas (dalam). (menurut Psikologi Perkembangan Anak dan remaja, Dr. H. Syamsu Yusuf LN, MPd. 2007:114-115).
Kemampuan bereaksi secara emosional sebenarnya sudah ada pada bayi yang baru lahir meskipun belum menunjukkan emosional yang spesifik. Seperti misalnya pada saat bayi menunjukkan kesenangan dan ketidaksenangan terhadap sesuatu dengan cara menangis, dimana bayi akan menangis bila merasa tidak nyaman, atau terlalu banyak stimulus yang diterima pada saat ini.  . Seiring dengan perkembangan usia, emosi yang ditunjukkan anak pun semakin komplek dan bervariasi. Variasi itu sebagian disebabkan oleh keadaan fisik anak pada saat itu dan taraf  perkembangan intelektualnya. Sebagian lagi disebabkan oleh keadaan lingkungan. Anak yang sehat cenderung kurang emosional dibandingkan dengan anak yang kurang sehat.
Ditinjau sebagai suatu kelompok, anak laki-laki lebih sering dan lebih kuat dalam mengekspresikan emosi yang sesuai dengan jenis kelamin merekaseperti marah, dibandingkan dengan emosi yang dianggap lebih sesuai dengan perempuan seperti takut, cemas dan kasih saying.
Menurut Elizabeth  B.Hurlock  dalam buku  Psikologi Perkembangan , Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan  (1980:116) berikut adalah emosi yang umum dialami oleh anak khususnya usia 2-3 tahun:
a.     Amarah
Pada usia 2-3 tahun, anak masih belum dapat mengendalikan amarah dengan baik. Mereka cenderung meledak-ledak, kadangkala tanpa disertai dengan alas an yang kuat. Sebagai contoh, anak usia 2-3 tahun dapat saja marah dikarenakan tidak diperbolehkan memainkan sesuatu permainan/benda yang dia inginkan atau tidak tercapai keinginan akan sesuatu. Ungkapan  rasa marah ini ditandai dengan menangis, berteriak, menggertak, menendang, melompat-lompat atau memukul. Pada tahap tertentu, bila amarah yang ditunjukkan anak ini sangat tinggi dan cenderung membahayakan, maka disebut hal ini sebagai tantrum. Yang mana hal ini akan dibahas kemudian dalam gangguan emosional pada anak.
b.    Takut
Pembiasaan, peniruan dan ingatan tentang pengalaman yang kurang menyenangkan berperan penting dalam menimbulkan rasa takut, seperti cerita, gambar, acara televisi dan film dengan unsur yang menakutkan. Reaksi yang diberikan anak terhadap rasa takut ini biasanya adalah panik, kemudian menjadi lebih khusus seperti lari, menghindar, bersembunyi, menangis dan menghindari situasi yang menakutkan.
      Pada usia 2-3 tahun, ketakutan anak biasanya adalah ketakutan akan gelap, ditinggalkan oleh orang terdekatnya misalnya ditinggal bekerja oleh ibu, berada seorang diri, berada di tempat yang belum dikenalnya atau berada didekat orang/objek yang belum dikenal. Ketakutan  lain juga bisa ditimbulkan karena si anak berada pada tempat yang tinggi.
 Anak usia ini berada pada puncak rasa takut yang khas dari pola perkembangan yang normal. Hal ini dikarenakan anak lebih mampu mengenal bahaya dibandingkan pada saat mereka masih bayi. Rasa takut kepada orang yang belum dikenal sebagian karena terbiasa melihat wajah yang sudah dikenal dank arena tidak mampu menyesuaikan diri dengan cepat pada pemunculan orang yang tidak dikenal secara sekonyong-konyong.
Bila ditinjau dari dasar lingkungan, ternyata perasaan takut dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Perasaan takut mudah menyebar kepada anak-anak yang lain.
c.     Cemburu
Rasa cemburu merupakan reaksi normal terhadap kehilangan kasih saying yang nyata, dibayangkan atau ancaman khilangan kasih saying. Pola rasa cemburu bisanya berasala dari rasa takut yang dikombinasikan dengan rasa marah.  Anak cemburu bila ia mengira bahwa minat dan perhatian orangtua beralih kepada orang lain dalam keluarga, baik adik maupun kakak. Biasanya adik yang baru lahir. Pada anak yang berusia 2-3 tahun, cemburu pada adik yang baru lahir ditunjukkan dengan cara menjadi nakal, berpura-pura sakit atau tidak mau terpisah dari ibunya. Hal ini dilakukan untuk menarik perhatian orangtuanya. Pada kasus-kasus tertentu, si anak usia 2-3 tahun tersebut dapat saja melakukan sesuatu pada orang yang dicemburuinya, seperti mencubit adiknya.
Sikap pilih kasih orangtua juga menimbulkan reaksi cemburu. Tanpa disadari orangtua menunjukkan perhatian yang tidak sewajarnya pada anak yang secara kebetulan paling menarik, penuh kasih saying dan berbakat. Yang paling sering adalah pilih kasih orangtua karena jenis kelamin anak.
d.    Ingin tahu
Anak mempunyai rasa ingin tahu terhadap hal-hal yang baru dilihatnya, mengenai tubuhnya dan tubuh orang lain. Reaksi pertama adalah dalam bentuk penjelajahan sensomotorik yang kemudian diapresiakan dengan cara bertanya.
Biasanya usia 2-3 tahun ini, anak cenderung banyak bertanya mengenai hal-hal yang baru atau hal yang ia anggap menarik. Ditandai dengan pertanyaan “Apa….., Mengapa……
e.     Iri hati
Anak sering iri hati mengenai kemampuan atau barang yang dimiliki oleh orang lain. Iri hati biasanya diungkapkan dengan mengeluh tentang barang yang dimilikinya atau keinginan untuk memiliki barang seperti yang dimiliki oleh orang lain. adalah
Mengapa anak iri hati dengan adik bayi ? ada ahli yang mengatakan sebabnya karena anak itu sangat kasih terhadap ibunya. Kita semua tahu, bahwa anak sangat membutuhkan keamanan dan kenyamanan, pada ibu haltersebut diperolehnya. Jika ia mempunyai adik lagi, maka ia cemas kalau-kalau keamanan dan kenyamanan akan berkurang atau hilang sama sekali.
f.     Gembira
Anak-anak merasa gembira karena sehat, situasi yang tidak layak, bunyi yang tiba-tiba/tidak diharapkan atau berhasil melakukan tugas yang dianggap sulit. Ekspresi dari kegembiraan ini ditandai dengan tersenyum dan tertawa, melompat, berteriak, bertepuk tangan atau memeluk orang yang membuatnya bahagia.
Biasanya anak usia 2-3 tahun gembira bila mendapat hadiah, mampu melakukan hal yang sulit dilakukan, bertemu dengan orang yang disukai dan lain sebagainya.
g.    Sedih
Anak merasa sedih karena segala sesuatu yang dicintainya atau dianggap penting bagi dirinya, apakah itu orang, binatang atau benda mati seperti maianan. Secara khas anak Usia 2-3 tahun biasanya menunjukan  kesedihannya cara menangis, dan kehilangan minatnya terhadap kegiatan normalnya termasuk makan.
h.     Kasih sayang
Kasih sayang anak-anak terhadap orang lain diperngaruhi oleh jenis hubungan yang ada diantara mereka, sehingga dapat dimengerti kasih sayang anak pada masing-masing anggota keluarga berbeda. Umumnya , anak lebih banyak menaruh kasih sayang pada ibunya dibandingkan dengan ayahnya karena ibu lebh banyak berinteraksi dengan anak ketimbang ayah.
Anak usia 2-3 tahun belajar mencintai orang, binatang atau benda yang menyenangkan dengan cara memeluk,menepuk dan  mencium objek yang disayanginya. Secara verbal, anak usia sudah mampu mengatakan kata-kata “sayang mama/sayang papa” secara jelas. Biasanya eksprsi yang lebih sering ditunjukkan anak adalah dengan cara memeluk

Karakteristik Perkembangan Emosi Anak Umur 2-3 Tahun
·         Secara suka rela mau untuk tidur siang atau istirahat
Anak sudah mau tidur siang tanpa ada paksaan dari orangtua/pengasuhnya. Anak sudah mampu mengenali ritme kegiatan sehari-hari, sehingga pada jam yang semestinya anak tidur siang, anak langsung melakukannya dengan sukarela
·         Mulai menunjukkan kemampuan untuk mengendalikan diri
Anak sudah mulai mampu menahan tangis dan tawa
·         Mulai menggunakan kata-kata atau gerakan yang kompleks untuk mengungkapkan perasaan atau keinginan
Bila pada anak usia 1 tahun kemampuan berbahasanya masih terbatas, maka pada usia 2-3 tahun, kosakata yang dimiliki anak lebih banyak dan bervariasi, sehingga anak lebih mampu mengungkapkan emosi/keinginannya dengan lebih komplek. Dari segi perkembangan bahasa, anak sudah mampu mengucapkan satu/dua kalimat utuh.
·         Mengungkapkan emosi melalui bermain pura-pura
Di usia ini, kemampuan anak berimajinasi mulai berkembang. Itu sebabnya mereka sangat suka bermain pura-pura. Bermain pura-pura biasanya akan melibatkan koleksi boneka.  Melalui boneka, anak akan menjadikannya sebagai alat pelampiasan kasih saying, kekesalan hatinya atau kesedihan hatinya.
      Bila anak laki-laki bermain boneka juga, orangtua tidak perlu buru-buru khawatir, karena secara alami anak-anak akan tertarik pada boneka bayi atau boneka manusia. Mereka senang melihat boneka bayi laki-laki dan boneka bayi perempuan dan ingin memilikinya. Baik anak perempuan dan anak laki-laki akan memperoleh manfaat dari bermain boneka. Fase ini sangat bermanfaat bagi anak, sebab dengan bermain boneka, anak akan berlatig untuk mengembangkan sikap empati dan simpati kepada orang lain. Selain itu mereka juga akan diperkenalkan dengan aspek khidupan sehari-hari.
·         Berintraksi dengan orang dewasa  secara hangat dan positif tetapi tidak terlalu tergantung
      Di usia ini anak mungkin merasa cemas ketika berpisah dengan ibu dan bapaknya untuk beberapa saat. Kecemasan ini akibat kedekatan dengan ibu dan bapaknya. Namun selama ada ada kepastian bahwa ayah dan ibunya akan kembali secepatnya, anak biasanya akan lebih tenang.

Sumber: 
  1.      Santrock, John A. Life-Spain Development. Edisi kelima.Jakarta: Erlangga. 2002
2.     Jahja, Yudrik. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup.2011
3.     Hurlock, Elizabeth A. Developmental Psikology, A Life-Span Approach,Fifth Edition. Jakarta. Erlangga. 1980.
4.     Hurlock. A. Elizabeth. Perkembangan Anak. Edisi keenam. Jakarta. Erlangga.1978
5.     Yusuf,. Syamsu. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, Jakarta. 2007