Rabu, 06 Februari 2013


Hyperparenting-kah Anda?


Sebagai orangtua, kita pasti menginginkan yang terbaik bagi anak-anak kita. Semua aspek diperhatikan, mulai dari makanan, pakaian, pendidikan, diupayakan yang terbaik demi buah hati tercinta. Pengorbanan materi tidak lagi dipertimbangkan. Terlebih dalam hal pendidikan. Karena menginginkan anaknya menjadi anak yang cerdas dan sukses di masa depan, orangtua menjejali anak dengan berbagai macam les dan ekstrakurikuler. Seperti halnya usia  Andi, yang pada usia delapan tahun sudah dijejali dengan berbagai macam aktivitas yang menyamai orang dewasa, nyaris tanpa jeda. Mulai dari les matematika, les berenang, les piano, les membaca dan sederet aktivitas lainnya. Kedua orangtuanya pun mengatur jadwalnya dengan amat seksama, sampai detik per detiknya. Apa yang terjadi ? Andi kehilangan waktu bermainnya..

Bila kita cermati kembali....apakah perlakuan yang kita berikan tersebut sudah benar demi kebahagiaan anak dimasa mendatang ? Ataukah ini semata ambisi kita yang dulu tidak pernah/tidak sempat kita lakukan pada saat kita muda dulu? Ataukah ego orangtua yang ingin memiliki anak yang super hebat dan berprestasi ?
Bila kita kaji lebih dalam, tindakan orangtua Andi pada kisah diatas dapat kita katakan sebagai hyperparenting. Apa itu Hyperparenting

Hyperparenting adalah tindakan-tindakan yang dilakukan orangtua yang dinilai baik untuk anak mereka tanpa memperhatikan kebutuhan dan kemampuan anak mereka. Hal ini biasanya dilatarbelakangi oleh kekhawatiran orangtua akan masa depan anak mereka. Lalu, bagaimana ciri-ciri orangtua yang hyperparenting itu?
  • teliti dan cermat terhadap apa yang dilakukan oleh anak hingga sangat terlibat dalam berbagai aspek kehidupan. Contohnya, mereka tahu betul apa saja yang dimakan oleh anaknya, berapa sendok makan anak dsb
  • memberi stimulasi berlebihan pada anak atau balita, padahal ia tidak merespon. Anak merespon bukan karena mengabaikan atau bodoh, melainkan karena kemampuannya memang masih terbatas sesuai dengan usianya. Misalnya, anak belum mampu menggunakan toilet, tapi terus saja dilatih bahklan dipaksa atau dimarahi jika tidak berhasil atau meolak melakukannya.
  • Cemas berlebihan pada apa yang terjadi atau dialami anak/rasa khawatir berlebihan akan masa depan anak. Misalnya, saat anak menginap di rumah neneknya, maka Anda bisa berkali-kali menelpon hanya untuk menanyakan keadaan anak, apa yang dimakan, apa yang dimainkan dan tak lupa menitipkan sederet larangan untuk anak.
  • Membandingkan anak dengan anak lain secara ekstrim, meskipun tahu bahwa setiap anak memiliki kesiapan berbeda untuk belajar sesuatu.
  • tidak pernah merasa puas terhadap pencapaian anak tanpa melihat kemampuan anak. Kerap kecewa dan terpukul jika anak balita gagal merespon stimulasi yang diberikan atau melakukan kesalahan. Selain itu selalu merasa kurang dan tak bisa memberikan yang terbaik bagi anak.
  • terlalu memaksakan anak untuk melakukan semua kegiatan yang menurut orangtua nilai baik dan berdampak positif pada anak.Berperilaku tak masuk akal seperti meminta anak untuk tidak bermain seharian dan memaksanya mengerjakan suatu kegiatan yang dianggap positif seperti terus-menerus belajar membaca, menulis dan berhitung
  • selalu menilai keberhasilan anak hanya dari prestasi akademik atau kognitif, baik melalui rapor maupun hasil prestasi yang bisa diraih anaknya
  • memanjakan anak, berusaha memenuhi semua tuntutan dan permintaan anak
  • merasa kecewa bila mendapati anak gagal mencapai prestasi atau kemampuan tertentu yang diharapkan orangtua
  • Selalu menekan anak dan tersinggung bila ada yang mengkritik anaknya
  • menyalahkan pihak sekolah atau guru bila anaknya tak berhasil mencapai prestasi yang baik

Lalu, apa akibatnya pada anak kita?
Dalam jangka pendek, anak akan merasa:
  • anak lebih mudah marah
  • cepat lelah
  • sakit-sakitan
  • sulit berkosentrasi
  • sulit makan atau sebaliknya
  • tidak bisa tidur
  • kerap membangkang atau tidak menurut perintah orangtua
  • jika diberi perintah akan berlama-lama mengerjakannya
  • kerap terlihat kurang bersemangat dalam menjalani aktivitas sehari-hari
Dalam jangka panjang, hyperparenting akan mengakibatkan hal-hal berikut pada anak:
  • Anak cenderung kurang inisiatif, karena seluruh hal yang dilakukannya mayoritas atas arahan dan perintah orangtua.
  • Kurang mampu merefleksikan diri, karena tak ada waktu untuk berpikir mandiri. Semua hal dalam hidupnya sudah dipikirkan oleh orangtua dan anak juga kerap menerima kritik dari orangtua jika yang dilakukannya tidak sempurna atau sesuai keinginan orangtua.
  • Kurang memiliki pemahaman tentang diri sendiri, sehingga anak tidak mengenal kelebihan dan kekurangan dirinya.
  • Anak juga kurang memahami  apa keinginan dan kebutuhannya, bahkan hal apa saja yang disukai dan tidak disukainya.
  • Sedikit bicara dan kurang ekspresif, karena terbiasa mendengar bukan didengar.
  • Bukan tidak mungkin anak akan mengalami depresi yang terkadang tak disadari oleh orangtua atau orang-orang di sekelilingnya

Bahkan orangtua yang hyperparenting pun akan mengalami:
  • Sering cemas
  • Kehilangan waktu untuk dirinya sendiri
  • Kurang menikmati proses pengasuhan
  • Banyak bertengkar dengan sesama pengasuh -misalnya bunda bertengkar dengan ayah karena dianggap kurang mendukung atau dianggap berbeda pandangan
  • Lebih mudah stress

Lantas, apa yang harus kita lakukan, agar kita terhindar dari hyperparenting?
1.    Menyempatkan waktu bersama anak-anak. Tak ada kesempatan lebih efektif selain bersamanya. Ketahuilah masa kanak-kanak berlalu begitu cepat, tanpa kita sadari tiba-tiba mereka akan sibuk dengan teman sebayanya, pekerjaan dan akhirnya “meninggalkan” kita.
2.    Belajar menjadi pendengar apa yang diinginkan anak. Kita sering menuntut mereka agar mendengarkan perintah dan nasehat kita tapi tidak adil jika kita tidak mau mendengar suara hati mereka. Dengan mendengar orang tua akan peka isyarat anak sekaligus memahami ritme alami anak. Orang tua akan mengetahui mana kegiatan pengayaan yang dibutuhkan anak dan mana yang tidak. Dan tanyakan terlebih dahulu apakah anak menyukai kegiatan tertentu atau tidak.
3.    Sadari dimensi anak. Hindari menilai anak dari semua aspek kehidupannya. Masa kanak-kanak adalah masa persiapan, bukan tempatnya menetapkan standar kita kepada anak. Anak juga berhak gembira, bersenang-senang, beristirahat dan mempunyai waktu luang yang mereka isi sesuai pilihnnya sendiri
4.    Biarkan sesekali anak tidak produktif. Orang tua kerap gerah melihat anak bersantai tanpa kegiatan produktif. Waktu tak produktif diperlukan anak untuk merangsang menciptakan sendiri kesenangannya.
5.    Tidak membandingkan dengan anak lain atau membandingkan masa kanak kita dengan masa kanak anak sekarang. Allah Sang pencipta telah memberi setiap anak keistimewaan dan keunikan masing – masing, maka hargailah keistimewaannya dengan tidak membandingkan dengan anak l lain. Yang terpenting kita motivasi mereka untuk siap hidup jamannya dengan ridhoNya

Jika kita tidak ingin hal ini terjadi pada anak, orangtua harus menjadi bijaksana dengan lebih memperhatikan kebutuhan dan kemampuan anak daripada memberi beban kepada mereka dengan kegiatan-kegiatan yang dianggap baik untuk anak lakukan.

Your children are not your children. They are sons and daughters of Life’s longing for itself. They came through you but not from you and though they are with you yet they not belong not to you (Kahlil Gibran)

Sumber:
www. ayahbunda.com
www.jawaban.com
www.sd2ypkbontang.sch.id

0 komentar: