Sebagai orangtua,
kita pasti menginginkan yang terbaik bagi anak-anak kita. Semua aspek
diperhatikan, mulai dari makanan, pakaian, pendidikan, diupayakan yang terbaik
demi buah hati tercinta. Pengorbanan materi tidak lagi dipertimbangkan.
Terlebih dalam hal pendidikan. Karena menginginkan anaknya menjadi anak yang
cerdas dan sukses di masa depan, orangtua menjejali anak dengan berbagai macam
les dan ekstrakurikuler. Seperti halnya usia Andi, yang pada usia delapan
tahun sudah dijejali dengan berbagai macam aktivitas yang menyamai orang
dewasa, nyaris tanpa jeda. Mulai dari les matematika, les berenang, les
piano, les membaca dan sederet aktivitas lainnya. Kedua orangtuanya pun
mengatur jadwalnya dengan amat seksama, sampai detik per detiknya. Apa yang
terjadi ? Andi kehilangan waktu bermainnya..
Bila kita cermati
kembali....apakah perlakuan yang kita berikan tersebut sudah benar demi
kebahagiaan anak dimasa mendatang ? Ataukah ini semata ambisi kita yang dulu
tidak pernah/tidak sempat kita lakukan pada saat kita muda dulu? Ataukah ego
orangtua yang ingin memiliki anak yang super hebat dan berprestasi ?
Bila kita kaji lebih
dalam, tindakan orangtua Andi pada kisah diatas dapat kita katakan sebagai hyperparenting. Apa itu Hyperparenting?
Hyperparenting adalah tindakan-tindakan yang dilakukan orangtua yang
dinilai baik untuk anak mereka tanpa memperhatikan kebutuhan dan kemampuan anak
mereka. Hal ini biasanya dilatarbelakangi oleh kekhawatiran orangtua akan masa
depan anak mereka. Lalu, bagaimana ciri-ciri orangtua yang hyperparenting itu?
- teliti dan cermat terhadap apa yang dilakukan oleh anak hingga sangat terlibat dalam berbagai aspek kehidupan. Contohnya, mereka tahu betul apa saja yang dimakan oleh anaknya, berapa sendok makan anak dsb
- memberi stimulasi berlebihan pada anak atau balita, padahal ia tidak merespon. Anak merespon bukan karena mengabaikan atau bodoh, melainkan karena kemampuannya memang masih terbatas sesuai dengan usianya. Misalnya, anak belum mampu menggunakan toilet, tapi terus saja dilatih bahklan dipaksa atau dimarahi jika tidak berhasil atau meolak melakukannya.
- Cemas berlebihan pada apa yang terjadi atau dialami anak/rasa khawatir berlebihan akan masa depan anak. Misalnya, saat anak menginap di rumah neneknya, maka Anda bisa berkali-kali menelpon hanya untuk menanyakan keadaan anak, apa yang dimakan, apa yang dimainkan dan tak lupa menitipkan sederet larangan untuk anak.
- Membandingkan anak dengan
anak lain secara ekstrim, meskipun tahu bahwa setiap anak memiliki
kesiapan berbeda untuk belajar sesuatu.
- tidak pernah merasa puas
terhadap pencapaian anak tanpa melihat kemampuan anak. Kerap kecewa dan
terpukul jika anak balita gagal merespon stimulasi yang diberikan atau
melakukan kesalahan. Selain itu selalu merasa kurang dan tak bisa
memberikan yang terbaik bagi anak.
- terlalu memaksakan anak
untuk melakukan semua kegiatan yang menurut orangtua nilai baik dan
berdampak positif pada anak.Berperilaku tak masuk akal seperti meminta
anak untuk tidak bermain seharian dan memaksanya mengerjakan suatu
kegiatan yang dianggap positif seperti terus-menerus belajar membaca,
menulis dan berhitung
- selalu menilai keberhasilan anak hanya dari
prestasi akademik atau kognitif, baik melalui rapor maupun hasil prestasi
yang bisa diraih anaknya
- memanjakan anak, berusaha memenuhi semua
tuntutan dan permintaan anak
- merasa kecewa bila mendapati anak gagal
mencapai prestasi atau kemampuan tertentu yang diharapkan orangtua
- Selalu menekan anak dan tersinggung bila ada
yang mengkritik anaknya
- menyalahkan pihak sekolah atau guru bila
anaknya tak berhasil mencapai prestasi yang baik
Lalu, apa akibatnya
pada anak kita?
Dalam jangka pendek, anak akan merasa:
- anak lebih mudah marah
- cepat lelah
- sakit-sakitan
- sulit berkosentrasi
- sulit makan atau sebaliknya
- tidak bisa tidur
- kerap membangkang atau tidak menurut perintah orangtua
- jika diberi perintah akan berlama-lama mengerjakannya
- kerap terlihat kurang bersemangat dalam menjalani aktivitas sehari-hari
Dalam jangka panjang,
hyperparenting akan mengakibatkan
hal-hal berikut pada anak:
- Anak cenderung kurang
inisiatif, karena seluruh hal yang dilakukannya mayoritas atas arahan dan
perintah orangtua.
- Kurang mampu merefleksikan
diri, karena tak ada waktu untuk berpikir mandiri. Semua hal dalam
hidupnya sudah dipikirkan oleh orangtua dan anak juga kerap menerima
kritik dari orangtua jika yang dilakukannya tidak sempurna atau sesuai
keinginan orangtua.
- Kurang memiliki pemahaman
tentang diri sendiri, sehingga anak tidak mengenal kelebihan dan
kekurangan dirinya.
- Anak juga kurang
memahami apa keinginan dan kebutuhannya, bahkan hal apa saja yang
disukai dan tidak disukainya.
- Sedikit bicara dan kurang
ekspresif, karena terbiasa mendengar bukan didengar.
- Bukan tidak mungkin anak akan
mengalami depresi yang terkadang tak disadari oleh orangtua atau
orang-orang di sekelilingnya
Bahkan orangtua yang hyperparenting pun akan mengalami:
- Sering cemas
- Kehilangan waktu untuk
dirinya sendiri
- Kurang menikmati proses
pengasuhan
- Banyak bertengkar dengan sesama
pengasuh -misalnya bunda bertengkar dengan ayah karena dianggap kurang
mendukung atau dianggap berbeda pandangan
- Lebih mudah stress
Lantas, apa yang harus kita lakukan, agar kita terhindar
dari hyperparenting?
1.
Menyempatkan
waktu bersama anak-anak. Tak ada kesempatan lebih efektif selain bersamanya.
Ketahuilah masa kanak-kanak berlalu begitu cepat, tanpa kita sadari tiba-tiba
mereka akan sibuk dengan teman sebayanya, pekerjaan dan akhirnya “meninggalkan”
kita.
2.
Belajar
menjadi pendengar apa yang diinginkan anak. Kita sering menuntut mereka agar
mendengarkan perintah dan nasehat kita tapi tidak adil jika kita tidak mau
mendengar suara hati mereka. Dengan mendengar orang tua akan peka isyarat anak
sekaligus memahami ritme alami anak. Orang tua akan mengetahui mana kegiatan
pengayaan yang dibutuhkan anak dan mana yang tidak. Dan tanyakan terlebih
dahulu apakah anak menyukai kegiatan tertentu atau tidak.
3.
Sadari
dimensi anak. Hindari menilai anak dari semua aspek kehidupannya. Masa
kanak-kanak adalah masa persiapan, bukan tempatnya menetapkan standar kita kepada
anak. Anak juga berhak gembira, bersenang-senang, beristirahat dan mempunyai
waktu luang yang mereka isi sesuai pilihnnya sendiri
4.
Biarkan
sesekali anak tidak produktif. Orang tua kerap gerah melihat anak bersantai
tanpa kegiatan produktif. Waktu tak produktif diperlukan anak untuk merangsang
menciptakan sendiri kesenangannya.
5.
Tidak
membandingkan dengan anak lain atau membandingkan masa kanak kita dengan masa
kanak anak sekarang. Allah Sang pencipta telah memberi setiap anak keistimewaan
dan keunikan masing – masing, maka hargailah keistimewaannya dengan tidak
membandingkan dengan anak l lain. Yang terpenting kita motivasi mereka untuk
siap hidup jamannya dengan ridhoNya
Jika kita tidak ingin hal ini terjadi pada anak, orangtua harus
menjadi bijaksana dengan lebih memperhatikan kebutuhan dan kemampuan anak daripada
memberi beban kepada mereka dengan kegiatan-kegiatan yang dianggap baik untuk
anak lakukan.
Your children are not your children. They are sons and daughters of Life’s longing for itself. They came through you but not from you and though they are with you yet they not belong not to you (Kahlil Gibran)
Sumber:
www. ayahbunda.com
www.jawaban.com
www.sd2ypkbontang.sch.id